cover
Contact Name
Anwar Hafidzi
Contact Email
prodi.htn@uin-antasari.ac.id
Phone
+6285251295964
Journal Mail Official
anwar.hafidzi@uin-antasari.ac.id
Editorial Address
Jalan Ahmad Yani Km. 4.5 Banjarmasin
Location
Kota banjarbaru,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Journal of Islamic and Law Studies (JILS)
ISSN : 26568683     EISSN : 26568683     DOI : 10.18592/jils.v5i1.4577
The Journal of Islamic and Law Studies is a multi-disciplinary publication dedicated to the scholarly study of all aspects of science and of the Islamic in Indonesia. Particular attention is paid to works dealing with history geography political science economics anthropology sociology law literature religion philosophy international relations environmental and developmental issues as well as ethical questions related to scientific research. The Journal seeks to place Islam and the Islamic tradition as its central focus of academic inquiry and to encourage comprehensive consideration of its many facets; to provide a forum for the study of Islam and Muslim societies in their global context; to encourage interdisciplinary studies of the Islamic world that are crossnational and comparative; to promote the diffusion exchange and discussion of research findings; and to encourage interaction among academics from various traditions of learning.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 6 No. 1 (2022)" : 8 Documents clear
Kandungan Hukum Islam Dalam Ayat-Ayat Mutasyabihat Ruslan Ruslan
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (479.941 KB) | DOI: 10.18592/jils.v6i1.6829

Abstract

Abstract: The study of mutasyabihat verses in relation to Islamic law looks rather unusual. This is because the assumption built by the scholars is "the mutasyabihat verses concentrate more on the field of aqidah (al-ahkam al-I'tiqadiyah)". Meanwhile, the verses regarding halal-haram law include the muhkamat verse (the meaning is clear); as opposed to the mutasyabihat verse. This paper attempts to present the content of Islamic law (shara' law) in mutasyabihat verses. The result actually strengthens the existence of mutasyabihat verses on musykil, musytarak, and mubham pronunciations. The themes of the verse become clearer when viewed with a substantive approach, for example the law of marriage polygamy, the tradition of destroying the back wall of the house after Umrah or Hajj, the law against polytheists, the meaning of quru' for women who have lost their husbands, the law on coalitions of Muslims and non-Muslims. , and others tend to say that the legal verses are actually more mutasyabihat. The aim is allegedly to strengthen faith in Allah and so that the universality of the Qur'an is maintained Abstrak: Kajian tentang ayat-ayat mutasyabihat dalam hubungannya dengan hukum Islam terlihat agak tidak lazim. Hal ini karena asumsi yang dibangun para ulama   “ayat-ayat mutasyabihat lebih berkonsentrasi pada bidang akidah (al-ahkam al-I’tiqadiyah)”. Sementara ayat-ayat tentang hukum halal – haram termasuk ayat muhkamat (jelas maknanya); sebagai lawan ayat mutasyabihat. Tulisan ini berusaha mengemukakan  kandungan hukum Islam (hukum syara’) dalam ayat-ayat mutasyabihat. Hasilnya justuru menguatkan adanya ayat-ayat mutasyabihat  pada lafal-lafal musykil, musytarak, dan mubham. Tema-tema ayat pun menjadi lebih jelas ketika dilihat dengan pendekatan substantif misalnya hukum poligami perkawinan, tradisi merusak tembok belakang rumah  setelah  umrah atau  haji, hukum memerangi orang musyrik,  makna quru’ bagi wanita yang ditinggal mati suami, hukum koalisi muslim dan non-muslim,  dan  lain- lain cenderung dikatakan ayat-ayat hukum justru lebih banyak mutasyabihatnya. Tujuannya diduga untuk mengokohkan keimanan kepada Allah dan agar universalitas Alquran  tetap terpelihara
Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia Menurut Hukum Yang Ada Di Indonesia Wahyu Wibowo; Yusuf Setyadi; Surajiman Surajiman
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.835 KB) | DOI: 10.18592/jils.v5i2.5791

Abstract

Abstract: This journal discussing enforcement of law regarding human rights in Indonesia according to UU Number 39 in 1999. Reason of choosing this title is condition of law enforcement until now related to human right in Indonesia has not been fully applied. Main problems in this article are: the way judicial applicating of the law to human rights violations in Indonesia; the institutions that presecutes human rights violators; meaning of settlement used for variation of human right violations in Indonesia that was indicated by law number 26 in 2006, containing human right courts and mentioning ad hoc courts used to judge human right violators. To resolve human rights cases that occurred in the territory of Indonesia, namely through the ad hoc court when the occurrence of human rights beore law number 26 in 2000. It law concern human rights court and the process of resolving. These human rights could also be resolved by alternative settlements through Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi that has been established before. In this article, author use normative research which used descriptive methodology with normatif judicial approach based on valid law and regulations in Indonesia. Abstrak:Kajian mengenai penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia sebagian menggunakan undang-undang nomor 39 tahun 1999. Sejak Indonesia secara hukum berdiri dengan pelbagai perubahan perundang-undangan, beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia belum dilaksanakan secara maksimal. Penulis akan mengelaborasi lebih jauh mengenai penegakan hukum Hak Asasi Manusia berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia dengan beberapa subjek permasalahan, yaitu cara penerapan hukum dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia, Kelembagaan dan wewenangnya dalam penegakan pelanggaannya, serta sarana yang digunakan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Mnusia di Indonesia. Penulis menyimpulkan bahwa penerapan hukum teradap pelanggar HAM di Indonesia mengikuti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengenai pengadilan HAM, yang berisi ihwal pengadilan ad hoc yang digunakan untuk mengadili pelanggar Hak Asasi Manusia di wilayah Indonesia. Sebelum undang-undang ini, pelanggaran Hak Asasi Manusia diselesaikan melalui peradilan HAM atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam artikel ini, penulis menggunakan metodologi penelitian normatif, yaitu melalui penjelasan deskritptif dengan pendekatan yuridis melalui peraturan dan regulasi yang berlaku. 
Strategi Penyidik Polri Dalam Mengungkap Motif Dan Modus Operandi Pelaku Tindak Pidana Narkoba Di Indonesia Rumainur Rumainur
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (433.392 KB) | DOI: 10.18592/jils.v6i1.7122

Abstract

Abstract: Basically, drug crimes are real and exist around our lives. Therefore, every individual in society must be vigilant and declare war on drugs. Many modus operandi is carried out by perpetrators and drug crime syndicates to deceive law enforcement officials. In addition, the motives of the perpetrators cannot be underestimated or only because of economic factors or just looking for profit, but it is possible that there are other indications. We can see that the perpetrators continue to be arrested, but the circulation of drugs continues to occur with various new modus operandi and seems to be unstoppable. This is certainly a shared thought and a material for reflection for the Indonesian people to rise up against drugs. Abstrak: Pada dasarnya kejahatan narkoba itu adalah nyata adanya dan ada disekitar kehidupan kita. Oleh karenanya setiap individu masyarakat harus waspada dan menyatakan perang melawan narkoba. Banyak modus operandi dilakukan oleh para pelaku dan sindikat kejahatan narkoba untuk mengelabui apparat penegak hukum. Selain itu motif para pelaku, juga tidak bisa dipandang sebelah mata atau hanya sekedar karena faktor ekonomi ataupun hanya sekedar mencari keuntungan, tetapi tidak menutup kemungkinan ada indikasi lain. Kita bisa melihat pelaku terus dilakukan penangkapan, namun peredaran narkoba terus saja terjadi dengan berbagai modus operandi baru dan seolah-olah tidak terbendung lagi. Ini tentunya menjadi pemikiran bersama dan sebagai bahan renungan bagi masyarakat Indonesia untuk bangkit melawan narkoba
Pelanggaran Ham Yang Terjadi Di Papua Dan Poso Rustandi Senjaya
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (444.406 KB) | DOI: 10.18592/jils.v6i1.7123

Abstract

Abstract: The purpose of this study is to demonstrate if the legal commission has to be familiar with the fundamentals of human rights in an international setting. The strategy used in this study incorporates normative works that analyze human rights breaches in Papua and Poso from a variety of journal sources. Based on these instances, the study concludes that special measures are required in order to lessen law enforcement's infringement of human rights. For legal certainty and tangible references by all parties, the framework for international and national regulation is required. Law enforcement organizations must put in place a UN system that can quickly react to requests from States for human rights education and training initiatives, special education on standards as set out in international human rights instruments and in humanitarian law and their application to special groups such as law enforcement personnel. Abstrak: Penelitian ini ingin membuktikan apakah komisi hukum perlu memahami dasar HAM dalam konteks internasional. Metode dalam penelitian ini menggunakan kajian normative dari berbagai referensi jurnal yang membahas tentang pelanggaran HAM di Papua dan Poso. Penelitian ini menemukan bahwa diperlukan pengaturan khusus berdasarkan kasus-kasus tersebut agar pelanggaran HAM oleh penegak hukum dapat berkurang. Dasar pengaturan baik secara internasional dan nasional diperlukan demi kepastian hukum dan acuan yang konkret oleh semua pihak. Lembaga-lembaga penegak hukum harus menerapkan system PBB yang dapat segera merespon permintaan dari Negara untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan di bidang HAM pendidikan khusus tentang standar sebagaimana tercantum dalam instrumen HAM internasional dan dalam hukum humaniter dan penerapannya pada kelompok-kelompok khusus seperti personel penegak hukum.
Penegakan Hukum Pelanggaran Hak Asasi Manusia Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Studi Kasus: Perusakan Masjid Ahmadiyah di Kab. Sintang, Prov. Kalimantan Barat) Krismanko Padang; Surajiman Surajiman
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (535.906 KB) | DOI: 10.18592/jils.v5i2.5796

Abstract

Abstrak: Pentingnya kebebasan memeluk agama dan berkeyakinan bagi warga negara telah termuat dalam ideologi Pancasila dan ketentuan konstitusinya. Para founding fathers (pendiri bangsa) Indonesia sepakat untuk tidak menjadikan salah-satu agama tertentu sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Kebebasan beragama sudah diatur secara jelas dalam konstitusi dan perundangan nasional Indonesia, tetapi ternyata masih banyak kasus pelanggaran HAM disebabkan pembatasn hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, baik yang dilakukan oleh aktor non-pemerintah maupun pemerintah. Gangguan terhadap pelaksanaan kebebasan beragama juga dialami oleh masyarakat dengan merusak rumah ibadahnya. Hal ini terjadi pada masyarakat Ahmadiyah. Masjid Miftahul Huda yang termasuk tempat peribadatan oleh jemaat Ahmadiyah dirusak dan dibakar oleh masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan dan menganalisis proses penegakan hukum hak asasi manusia terhadap kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan. Analisis yag digunakan dalam penelitian ini ialah analisis kualitatif dengan mengambil bahan hukum primer dan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari bahan hukum yang mengikat dan kaidah dasar, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan kebebasan beragama. Penegakan dan pembelaan hukum sudah dilakukan terhadap JAI. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak memutus terdakwa kasus perusakan masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat. Mereka divonis empat bulan, lima belas hari penjara. Tim advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan merasa janggal dengan putusan majelis hakim. Menurut Tim Advokasi yang melakukan pembelaan, kejanggalan persidangan terjadi ketika mendengarkan keterangan saksi dari Ahmadiyah, karena persidangan justru berubah menjadi persidangan keyakinan. Itu ditunjukkan dari dominan pertanyaan Jaksa Penuntut Umum berkenaan dengan keyakinan Ahmadiyah..Abstract: Significance of freedom of religion and believing for citizens has been contained in the ideology of Pancasila and the provisions of its constitution. The founding fathers (founders of the nation) Indonesia agreed not to make one particular religion the foundation of the nation and state. Freedom of religion has been clearly regulated in the Indonesian constitution and national laws, but it turns out that there are still many cases of human rights violations caused by restrictions on the rights to freedom of religion and belief, both by non-government actors and the government. The community also experienced disturbances in the implementation of religious freedom by destroying their houses of worship. This happened to the Ahmadiyya community. The Miftahul Huda Mosque, which is a place of worship by the Ahmadiyya congregation, was damaged and burned by the local community. This study aims to reveal and analyze the process of enforcing human rights law on cases of freedom of religion and belief. The analysis used in this study is a qualitative analysis by taking primary and secondary legal materials. Primary legal materials consist of binding legal materials and basic rules, namely the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the 1945 Constitution, and Legislation relating to the protection of religious freedom. Law enforcement and defense have been carried out against JAI. The panel of judges at the Pontianak District Court decided the defendant in the case of the destruction of the Ahmadiyah mosque in Sintang, West Kalimantan. They were sentenced to four months, fifteen days in prison. The advocacy team for freedom of religion and belief felt odd about the judge's decision. According to the Advocacy Team who carried out the defense, the trial's irregularity occurred when hearing witness statements from Ahmadiyah, because the trial turned into a conviction trial. It is shown from the dominant question of the Public Prosecutor regarding the Ahmadiyya belief
Pengaturan Rujuk Di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam Dan Singapura Mariani Mariani
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (353.434 KB) | DOI: 10.18592/jils.v6i1.6825

Abstract

Abstract: A period in which the divorce happens at a legal marriage where a husband makes an approach  to his ex-wife to make relationship as a couple of marriage (husband and wife) before her iddah period, in Islam, is called “Rujuk” (reconciliation). It can be done by a husband to his ex-wife if in period of first or second divorce. In the life of Indonesian government, rujuk is regulated and protected by Indonesian regulation, that is, UU No. 32/ 1954. Besides, it is regulated in Inpres No. 1/ 1991 Chapter XVIII Article 163-169 KHI. So in Malaysia, Brunei Darussalam, and Singapore, each has its own regulation. The method used in this research is qualitative method. It is found that the regulation of reconciliation (rujuk) in Southeast Asia, especially, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, and Singapore has similarity in following fiqh madzhab, namely, Syafi’i madzhab. This research also discusses the definition of rujuk according to fuqaha, implementation of rujuk according to Islamic law, rujuk in positif law in Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, and Singapore Abstrak: Fase di mana terjadi perceraian pada sebuah perkawinan yang sah dan suami mendekati kembali kepada mantan isterinya untuk menjalin hubungan sebagai pasangan suami isteri sebelum masa iddahnya , dalam konsep agama disebut “Rujuk”, ini bisa dilaksanakan  oleh suami kepada isterinya , apabila masih posisi talak satu atau talak  dua,. Dalam kehidupan bernegara di Indonesia rujuk  diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, yaitu Undang-undang No. 32 Tahun 1954, selain itu rujuk juga diatur dalam Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 Bab XVIII dalam pasal 163 sampai dengan pasal 169 KHI, begitu juga di Negara Malaysia, Brunai Darussalam dan Singapura.msing masing memiliki aturan tersendiri. .Metode yang digunakan dalam  penelitian ini yaitu metode  deskriptif kualitatif, sehingga didapatkan hasil riset berupa Pengaturan rujuk  di negara Asia Tenggara khususnya Malaysia, Brunai Darussalam dan Singapura memiliki kesamaan dalam penggunaan madzhab yaitu madzhab Syafi’i  Dalam Jurnal ini juga membahas terkait pengertian rujuk menurut para ahli fiqh, teknis pelaksanaan rujuk menurut hukum Islam, Rujuk Dalam Hukum Positif, Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam dan Singapura
Kebijakan Pemerintah terhadap Pelaksanaan Majelis Taklim Di Banjarmasin Yusna Zaidah; Arie Sulistyoko; Ibnu Haikal Jabbar
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (521.445 KB) | DOI: 10.18592/jils.v6i1.6828

Abstract

bstract: During the pandemic, Majelis ta'lim, which is one form of community-based worship, is encountering difficulties in its execution. The actions of the majelis ta'lim, or collective meetings of many masses, create potential for inconsistencies between field conditions and those that should be governed by policy, resulting in activities that are supposed to be safe instead risking Covid-19 transmission.The theory of the policy application model, which includes communication, resources, tendencies, and ideal bureaucratic structures for the creation of successful policy implementation, was not completely fulfilled in the implementation of the policy for accelerating the handling of Covid-19 during the pandemic at the majelis ta'lim in the city of Banjarmasin during the pandemic. Starting with a lack of communication, the availability of resources, both adequate staff and clear and detailed information on the implementation, the organizers' authority that has yet to be fully maximized, and facilities that are not supportive, the organizers' and congregation's characteristics, and the implementation of technical procedures that have yet to be fully implemented. This occurred as a result of difficulties on the field caused by elements of the organizers and the majelis ta'lim congregation. Abstrak: Majelis ta’lim yang merupakan salah satu bentuk implementasi kegiatan peribadatan oleh masyarakat kini mengalami tantangan dalam penyelenggaraannya di masa pandemi. Kegiatan majelis ta’lim yang kolektif dengan banyak massa membuka peluang untuk terjadinya ketidaksesuian antara keadaan lapangan dengan yang seharusnya diatur kebijakan, sehingga kegiatan yang diharapkan dapat berlangsung dengan aman justru dapat beresiko terjadi penularan Covid-19. Penerapan kebijakan percepatan penanganan Covid-19 selama pandemi pada majelis ta’lim di kota Banjarmasin dilihat dari teori model penerapan kebijakan yang meliputi komunikasi, sumber daya, kecenderungan dan struktur birokrasi yang ideal untuk terciptanya keberhasilan penerapan kebijakan ternyata tidak terpenuhi secara menyeluruh. Mulai dari kurangnya komunikasi, ketersediaan sumber daya baik itu staf yang memadai, Informasi penyelenggaraan yang jelas dan rinci, kewenangan penyelenggara yang masih belum maksimal, dan fasilitas yang kurang mendukung, kemudian karakteristik penyelenggara maupun jemaah, serta penerapan teknis prosedur yang belum sepenuhnya. Hal ini terjadi dikarenakan adanya kendala di lapangan yang disebabkan oleh unsur penyelenggara dan jemaah majelis ta’lim.
Problematika Proses Peradilan Perkara Pelanggaran Ham Di Indonesia Kumbul Kusdwidjanto Sudjadi; Yusuf Setyadi
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.833 KB) | DOI: 10.18592/jils.v5i2.5790

Abstract

Abstract: The settlement of human rights violations in Indonesia is based on the Law on the Human Rights Court, that any person and/or group who has a strong reason that their human rights have been violated can submit reports and complaints verbally or in writing to Komnas HAM. . The law also contains provisions on the establishment of a special (ad-hoc) human rights court to try past human rights violations that occurred before the law was enacted, while a permanent human rights court only deals with crimes that occurred after the law was passed. . However, these ad-hoc courts are only established to hear special cases and are established through special procedures. The president can only establish an ad hoc court like this if there is a firm recommendation from the DPR. The process of resolving human rights violations begins with the arrest of alleged human rights violations by the investigators of the Attorney General's Office and the Public Prosecutor who are authorized to conduct detention and prosecution for the purposes of investigation and prosecution. there will be a prosecution by the attorney general or public prosecutor and an examination will be carried out in a human rights court. The weakness of the settlement of human rights violations in Indonesia based on the Law on the Human Rights Court, that the settlement of human rights violations in Indonesia is carried out in court, is by no means intended to reveal the facts of the violations that occurred, let alone to rectify history. These trials are only designed to prove whether those suspected of being most responsible for crimes against humanity or genocide are really most responsible or not. The truth that the court wants to prove is the material truth which is limited by the evidentiary procedure as regulated in the Criminal Procedure Code. Weaknesses in resolving human rights violations in Indonesia based on the Law on Human Rights Courts in the general court environment make them very dependent on the bureaucracy and administration of the general justice they occupy, there are articles that are misinterpreted so as to allow the perpetrators to be free, and there is also an age limit for both investigators and prosecutors. general public, as well as ad hoc judges, thereby preventing the entry of competent persons Abstrak: Penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Pengadilan HAM, bahwa setiap orang dan/atau kelompok yang mempunyai alasan kuat bahwa hak asasinya dilanggar dapat menyampaikan laporan dan pengaduan secara lisan atau tertulis kepada Komnas HAM. Undang-undang tersebut juga memuat ketentuan tentang pembentukan pengadilan HAM khusus (ad-hoc) untuk mengadili pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi sebelum undang-undang tersebut diundangkan, sedangkan pengadilan HAM permanen hanya menangani kejahatan yang terjadi setelah undang-undang tersebut disahkan. Namun, pengadilan ad-hoc ini hanya dibentuk untuk mengadili kasus-kasus khusus dan dibentuk melalui prosedur-prosedur khusus. Presiden hanya bisa membentuk pengadilan ad hoc seperti ini jika ada rekomendasi tegas dari DPR. Proses penyelesaian pelanggaran HAM diawali dengan penangkapan terhadap dugaan pelanggaran HAM oleh penyidik Kejaksaan Agung dan Kejaksaan yang berwenang melakukan penahanan dan penuntutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. akan ada penuntutan oleh jaksa agung atau penuntut umum dan pemeriksaan akan dilakukan di pengadilan hak asasi manusia. Lemahnya penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia berdasarkan UU Pengadilan HAM, bahwa penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia dilakukan di pengadilan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengungkap fakta pelanggaran yang terjadi. , apalagi untuk meluruskan sejarah. Pengadilan ini hanya dirancang untuk membuktikan apakah mereka yang diduga paling bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida benar-benar paling bertanggung jawab atau tidak. Kebenaran yang ingin dibuktikan oleh pengadilan adalah kebenaran materiil yang dibatasi oleh acara pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHAP. Kelemahan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia berdasarkan UU Pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum membuat mereka sangat bergantung pada birokrasi dan administrasi peradilan umum yang mereka tempati, ada pasal-pasal yang disalahartikan sehingga memungkinkan pelakunya untuk bebas, dan juga ada batasan usia bagi penyidik dan jaksa. masyarakat umum, serta hakim ad hoc, sehingga mencegah masuknya orang-orang yang berkompeten

Page 1 of 1 | Total Record : 8